MEMAKNAI BUDAYA SIPAKATAU, SIPAKALEBBI DAN SIPEKAINGE DI KINIAN KITA (suatu refleksi kearifan lokal)
Oleh Jufri M Nur
Dewasa ini kekerasan, kekejaman dan kerusuhan sudah seperti hantu yang menakutkan bagi masyarakat. Seakan-akan sudah tak ada lagi kekuasaan yang dapat menata dan mengatur kehidupan masyarakat agar lebih tertib dan lebih damai.
Sejatinya meski kita saling berbeda di dalam suatu kehidupan bersama, suasana tertib dan damai seharusnya tercermin di dalam kehidupan antar warga dan antar kelompok. Semakin tertib dan damai masyarakat, maka semakin terwujudlah kehidupan yang taat pada hukum, setia menjalani suatu kehidupan yang bermoral dan bermartabat. Ketertiban dan kedamaian hidup para warga masyarakat yang benar-benar taat hukum, berakhlak mulia dan berprikehidupan rohani yang sehat dapat melahirkan harmoni yang dinamis serta terhindar jauh dari anarkisme.
Suatu keniscayaan sejarah yang tidak terbantahkan bahwa bangsa Indonesia terbangun diatas kemajemukan. Perbedaan geografis, etnis, budaya dan agama. Anugrah inilah yang harus disyukuri sebagai kekuatan yang harus dipadukan dan diteguhkan secara ideologis oleh cita-cita bersama. Masyarakat madani bisa berhasil diperjuangkan jika perbedaan-perbedaan yang menjadi tungku bagi kemajemukan dipelihara, dirawat dan dilindungi sebagai penyangga persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagi komunitas masyarakat Bugis ada ajaran yang sudah begitu lama dipraktekkan oleh leluhurnya dan sangat efektif untuk meredam adanya tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Ajaran tersebut dikenal dengan istilah “Sipakatau”, yaitu ajaran moral yang mengharuskan setiap manusia dalam berinteraksi antara satu dengan yang lainnya senantiasa mengedepankan harkat dan martabat sebagai manusia utuh. Setiap manusia harus “dimanusiakan” tanpa memandang perbedaan status sosial, etnis, kepercayaan atau agama yang dianut. Manusia pada dasarnya membutuhkan penghargaan dan penghormatan dari orang lain tanpa kecuali.
Ajaran moral selanjutnya dikenal dengan sebutan “Sipakalebbi”. Makna hakiki sipakalebbi ini berisi pesan moral untuk “saling menghormati” antara anggota dalam masyarakat. Saling memuliakan antara satu komunitas dengan komunitas yang lain. Perbedaan pendapat tidak “diharamkan”, bahkan diberi ruang yang seluas-luasnya, tetapi selalu dalam bingkai saling menghargai. Senantiasa diharapkan penyampaian pendapat secara santun dan beradab.
Dengan adanya penghargaan kepada semua orang dalam mengeluarkan pendapat memungkinkan terciptanya kehidupan besama secara harmonis dan serasi. Ada dinamika yang berlangsung secara alami. Gesekan antar warga atau kelompok dapat diredam atau ditiadakan karena semua warga masyarakat merasa terpenuhi serta terlindungi keinginannya. Manakala ada keinginan seseorang atau kelompok yang ternyata tidak diterima oleh orang banyak, maka mereka tidak menjadi dongkal dan marah karena mereka telah mendapat perlakuan yang santun.
Ajaran selanjutnya adalah “Sipakainge”, yang artinya saling mengingatkan. Dalam intraksi antara warga tentu saja tidak menutup kemungkinan adanya kesalah pahaman atau adanya tindakan yang mungkin diluar dari norma atau diluar dari kebiasaan dan kesepakan bersama, maka dalam kondisi seperti ini harus ada upaya untuk “saling mengingatkan”. Ada kepedulian dari warga lainnya untuk mengingatkan kepada warga lainnya yang mungkin hilaf atau terlanjur melakukan kesalahan.
Konsep sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge adalah nilai budaya yang sangat luhur yang harus ditumbuh kembangkn dalam kehidupan bermasyakat. Hidup berdampingan secara damai, harmonis dan serasi adalah dambaan situasi yang kondusif dalam melaksanakan pembangunan bangsa. Pembangunan akan terhambat jika dalam masyarakat ada individu, atau ada kelompok tertentu yang memaksakan kehendaknya sesuka hatinya kepada orang lain. Ketika tindakan anrksme karena ego kesukuan, etnis, agama atau apapun namanya pasti akan menjadi pemhambat pembangunan. Semoga.
Smanet okt 2019
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini